Petani, Gotong Royong, dan Demokras
Di Indonesia, petani sering disebut sebagai tulang punggung bangsa, bahkan ada ungkapan bahwa PETANI (Penyangga Tatanan Negara Indonesia). Ungkapan ini bukan basa-basi, sebab dari tangan merekalah, dari kerja keras merekalah pangan tersedia di meja makan kita. Namun, jika menilik kenyataan sehari-hari, kehidupan petani justru sering kali penuh ironi bahkan sering dia anggap sebagai golongan miskin. Mereka bekerja keras sejak subuh, tetapi hasilnya tidak sebanding dengan jerih payah. Harga gabah serta hasil pertanian lainnya kerap jatuh, pupuk langka, tanah sempit, sementara biaya hidup terus naik.
Lebih ironis lagi, dalam panggung politik, petani justru kerap dijadikan objek semata. Setiap kali musim pemilu tiba, para kandidat berlomba-lomba mendatangi sawah, berfoto dengan caping, atau menebar janji untuk “menyejahterakan petani”. Namun setelah pemilu usai, suara petani kembali tenggelam tak diperhatikan dan dipandang sebelah mata di balik hiruk pikuk kota dan gedung kekuasaan.
Padahal, bila kita mau menengok lebih dalam, petani menyimpan sebuah nilai penting yang dapat memperkuat demokrasi Indonesia: GOTONG ROYONG.
Gotong Royong: Demokrasi yang Membumi
Bagi masyarakat desa, gotong royong adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Saat ada yang membangun rumah, tetangga berdatangan membantu. Saat musim panen tiba, warga saling berbagi tenaga. Bahkan, ada tradisi “sambatan” di Jawa atau “mapalus” di Minahasa—semuanya menekankan kebersamaan dalam kerja.
Gotong royong bukan hanya praktik sosial, melainkan juga pandangan hidup. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak bisa diraih seorang diri bahwa dalam hidup bermasyarakat tidak bisa dilakukan sendiri. Dalam kehidupan dimasyarakat khususnya petani sering kali segala sesuatu dilakukan dengan cara bekerjasama atau gotong royong. Bahkan tidak hanya terbatas dalam hal atau persoalan pertanian, gotong royong bisa diaplikasikan dalam banyak hal, bahkan di kehidupan masyarakat desa yang sebagian besar adalah petani gotong royong selalu jadi pilihan utama. Dalam konteks politik, semangat ini sejalan dengan nilai demokrasi: semua orang punya hak bicara, semua orang berpartisipasi, semua orang ikut menentukan arah bersama.
Sayangnya, demokrasi yang berkembang di Indonesia lebih banyak berhenti pada level prosedural: coblos lima menit, lalu selesai. Di luar itu, rakyat—termasuk petani—sering tak punya ruang untuk benar-benar memengaruhi kebijakan. Inilah yang membuat demokrasi kita sering terasa “kering”, tanpa ruh, bahkan cenderung transaksional.
Petani dalam Bayang-Bayang Politik Uang
Salah satu penyakit terbesar demokrasi kita adalah politik uang. Dan, petani sering kali menjadi sasaran empuk. Dengan alasan “ekonomi sulit”, suara petani bisa ditukar dengan selembar uang, sembako, atau pupuk. Dalam jangka pendek, ini mungkin tampak menguntungkan, tetapi dalam jangka panjang justru merugikan, karena melanggengkan praktik politik yang jauh dari kepentingan rakyat kecil.
Di titik inilah gotong royong menjadi penting. Nilai gotong royong yang hidup dalam komunitas petani dapat menjadi penawar bagi individualisme dan pragmatisme yang kini menggerogoti demokrasi. Jika politik uang membuat suara rakyat tercerai-berai demi keuntungan pribadi, gotong royong mengingatkan kita bahwa kepentingan bersama harus lebih diutamakan. Gotong royong juga bagian dari pengimplementasian Pancasila. Tentu saja gotong royong dan demokrasi harus punya output yang besar, kalau dalam sila pancasila tentu saja tujuan akhirnya untuk keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demokrasi yang Berakar dari Desa
Sebenarnya, desa menyimpan model demokrasi partisipatif yang patut dijadikan teladan. Musyawarah desa, kelompok tani, hingga forum rembug desa merupakan wadah deliberasi yang mencerminkan demokrasi substansial. Di forum itu, keputusan diambil bukan karena uang atau tekanan, tetapi karena kesepakatan bersama.
Namun, modernisasi dan birokratisasi sering membuat forum desa sekadar formalitas administratif. Padahal, jika dimanfaatkan dengan baik, desa bisa menjadi laboratorium demokrasi yang lebih sehat dan membumi. Dari desa, nilai gotong royong bisa dihidupkan kembali untuk memperkuat demokrasi di tingkat nasional.
Belajar dari Petani
Petani tahu bahwa menanam padi butuh kesabaran. Benih harus dirawat, tanah dipelihara, air dijaga, baru hasil panen bisa dinikmati. Demokrasi pun begitu: ia bukan hasil instan, melainkan proses panjang yang membutuhkan kesabaran, kerja kolektif, dan komitmen bersama.
Petani juga tahu arti berbagi. Saat panen, ada tradisi “bawon” atau “maro”—pekerja yang membantu mendapat bagian hasil panen. Dari sini, kita belajar bahwa keberhasilan bukan milik individu semata, melainkan buah dari kerja sama. Semangat inilah yang seharusnya menjiwai demokrasi kita: bukan siapa yang paling kaya atau paling berkuasa, tetapi siapa yang paling mau bekerja untuk kepentingan bersama.
Penutup
Petani, gotong royong, dan demokrasi sesungguhnya adalah satu kesatuan. Petani menyimpan nilai gotong royong yang bisa memperkuat demokrasi substantif, sementara demokrasi yang sehat semestinya memberi ruang bagi petani untuk menentukan nasibnya sendiri.
Hari ini, ketika demokrasi kita mulai dikepung pragmatisme dan politik uang, nilai gotong royong dari petani bisa menjadi obat penawar. Dari sawah, kita belajar arti sabar, arti kerja bersama, dan arti berbagi. Bila petani bisa menanam padi untuk kehidupan, kita pun bisa menanam demokrasi dengan gotong royong demi masa depan bangsa.(*)