RITME — Pembangunan infrastruktur sering dipahami sebatas investasi teknis, sedangkan dimensi keberlanjutan kerap dianggap hanya pelengkap dokumen administrasi. Padahal, keberlanjutan harus hidup di dalam praktik operasional harian.
Kesadaran inilah yang melatarbelakangi lahirnya karya intelektual “Integrasi ESG Berbasis Kearifan Lokal” oleh Dr(Cand). M. Alkautsar, M.M, seorang praktisi Public Affairs sekaligus peneliti tata kelola keberlanjutan pada industri infrastruktur strategis.
Sebagai seorang praktisi yang bergulat langsung dengan dinamika lapangan, Alkautsar menyaksikan bagaimana operasional jalan tol tidak hanya dipengaruhi oleh regulasi dan keuangan, tetapi juga oleh relasi sosial, ekologi, hingga legitimasi publik.
Buku ini lahir bukan dari ruang nyaman, melainkan dari pergulatan panjang di lapangan, diskusi akademik, riset tentang kebijakan tata kelola infrastruktur, industri strategis hingga pada tahapan dampak implementasi yang sudah dilakukan. Alkautsar melihat bahwa pembangunan tidak cukup hanya dengan mengejar profit, tetapi harus menjadi jalan etik yang memuliakan kemanusiaan dan lingkungan.
Menurutnya, ESG (Environmental, Social, and Governance) tidak boleh sekadar menjadi tren global, tetapi harus berakar pada nilai lokal yang sudah dihidupi masyarakat sejak ratusan tahun lalu.
“Indonesia tidak kekurangan nilai luhur untuk membangun keberlanjutan. Yang kita butuhkan adalah cara mengatur, mengintegrasikan, dan mengeksekusinya secara sistematis,” ujar Alkautsar.
Pengalaman inilah yang membuat buku ini tidak berdiri di atas teori semata, tetapi pada riset proaktif lapangan yang melihat keputusan teknis harian harus mempertimbangkan dampak lingkungan (Environmental), interaksi sosial masyarakat (Social), dan etika tata kelola (Governance).
Lebih dari sekadar kajian operasional, naskah ini lahir melalui diskusi bersama para guru besar ekonomi dan ahli infrastruktur strategis, memperkuat kualitas akademiknya sekaligus memantapkan relevansinya bagi pengambil kebijakan.
“Pengelolaan jalan tol bukan semata mengalirkan kendaraan, melainkan mengalirkan kepercayaan publik dan menjaga harmoni sosial serta ekologis,” tegas Alkautsar.
Mengapa Bakter?
Gerbang Sumatera & Miniatur Indonesia
Ruas Tol Bakauheni – Terbanggi Besar (Bakter) dipilih bukan hanya karena posisi strategisnya dalam jaringan nasional, melainkan karena Lampung merepresentasikan realitas sosial Indonesia. Lampung dikenal sebagai ‘miniatur Indonesia’, tempat seluruh suku, budaya, ras, dan agama hidup berdampingan. Keberagaman ini menjadikan Lampung sebuah laboratorium sosial, ideal untuk menguji bagaimana pengelolaan infrastruktur dapat memengaruhi relasi antar-masyarakat lintas budaya.
Alasan Strategis Bakter sebagai Studi ESG
* Gerbang utama Pulau Sumatera yang menghubungkan logistik nasional.
* Termasuk 5 ruas tol terpanjang di Indonesia, dengan pengaruh besar terhadap sosial dan ekologi.
* Menjadi perhatian investor luar negeri, penerapan ESG sangat menjadi aspek pertimbangan investor untuk memastikan iklim investasi selaras dengan keberlanjutan bisnis.
* Berada di wilayah multikultur, menjadikan dimensi sosial sama pentingnya dengan teknis.
* Bersinggungan dengan permukiman, konservasi, dan kawasan ekonomi, menjadikan ESG sebagai prasyarat keberlanjutan operasional.
Dengan kompleksitas ini, Bakter menjadi model bahwa operasional tol bukan hanya infrastruktur fisik, tetapi simpul peradaban ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Harapan Implementatif Nasional
Melalui peluncuran buku ini, Alkautsar menyampaikan harapan strategis agar integrasi ESG tidak berhenti pada jargon, tetapi menjadi standar tata kelola infrastruktur nasional.
1. Menjadi rujukan bagi Kementerian PUPR dan BPJT dalam mendorong implementasi ESG pada seluruh ruas tol Indonesia.
2. Melibatkan pemerintah daerah secara aktif dalam pengawasan dan implementasi ESG untuk memperkuat keberlanjutan di tingkat wilayah.
3. Memberikan stimulus atau insentif bagi ruas tol yang mampu menerapkan ESG secara konsisten sebagai keunggulan operasional.
4. Mengintegrasikan ESG ke dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM) sehingga aspek sosial, lingkungan, dan tata kelola menjadi syarat dasar operasional, bukan tambahan nilai.
Karya Proaktif Mengawal Arah Pembangunan
Dengan pendekatan berbasis kearifan lokal, buku ini menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak sekadar adopsi standar global, melainkan harus berakar pada nilai sosial, budaya, dan etika setempat.
Karya ini memberi panduan implementasi ESG yang teknis, etis, terukur, dan berorientasi masyarakat.
“Keberlanjutan tidak cukup dipahami; ia harus diatur dan dijalankan”












