RITME – Penggerebekan narkotika di sebuah hotel berbintang akhir Agustus lalu semestinya menjadi momentum penegakan hukum yang tegas. Namun, kasus yang menyeret sejumlah anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung justru meninggalkan tanda tanya besar.
Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Lampung hanya merilis temuan tujuh butir ekstasi. Padahal, pengakuan para tersangka membeli 20 butir. Selisih 13 butir inilah yang kini menjadi misteri.
Lebih janggal lagi, kasus yang semula diwarnai penggerebekan besar-besaran itu berakhir dengan keputusan rehabilitasi rawat jalan, tanpa pernah sampai ke meja pengadilan.
Kritik Akademisi: Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Prof. Dr. Zainab Ompu Jainah, akademisi hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) , menyebut langkah BNNP Lampung tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan publik soal keadilan.
“Kalau benar 20 butir yang dibeli, konstruksi hukumnya tak bisa berhenti di Pasal 127 tentang penyalahguna. Itu sudah masuk kepemilikan, bahkan berpotensi peredaran. Semestinya perkara dibawa ke meja hijau,” tegas Zainab.
Menurutnya, penggunaan jalur rehabilitasi memang diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun, syaratnya harus melalui asesmen terpadu yang objektif dan transparan.
“Masalahnya, hasil asesmen ini tidak pernah dibuka. Publik berhak tahu apakah mereka murni pengguna atau justru pengedar. Kalau fakta 20 butir disembunyikan, itu jelas inkonsistensi hukum,” ujarnya.
Zainab juga menyinggung soal diskriminasi. “Rakyat kecil dengan satu butir bisa dipenjara, sementara mereka yang punya status sosial bisa diselamatkan lewat rehabilitasi rawat jalan. Ini problem klasik penegakan hukum kita: selective enforcement,” katanya.
Sorotan Prof. Hamzah: BNN Lampung Gagal Paham Sema 04 Tahun 2010.
Kritik serupa datang dari Prof. Hamzah, guru besar fakultas hukum Universitas Lampung (Unila) . Dia menilai langkah tersebut keliru secara hukum dan berpotensi menyalahi prosedur.
Menurutnya, penggunaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 sebagai dasar rujukan rehabilitasi tidak tepat.
“SEMA itu ditujukan untuk hakim, bukan untuk penyidik. Jadi kalau penyidik BNN langsung menggunakan dasar ini untuk mengeluarkan keputusan rehabilitasi tanpa melalui persidangan, itu jelas aneh,” tegas Prof Hamzah, Minggu (7/9/2025).
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa dalam SEMA tersebut dijelaskan jelas bahwa narkotika yang sudah dikonsumsi tetap harus diperhitungkan sebagai barang bukti.
“Kalau pengakuan ada 20 butir dibeli, lalu sisa 7 butir ditemukan, itu sudah cukup kuat dibawa ke persidangan. Jangan malah dihilangkan perhitungannya. Biarkan hakim yang menilai dan memutuskan, bukan penyidik,” ujarnya.
Preseden Buruk untuk Lampung
Kasus HIPMI Lampung mencerminkan masalah klasik dalam pemberantasan narkotika: hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Jika masyarakat kecil bisa dipenjara hanya karena satu butir pil, sementara pelaku dengan status sosial tinggi lolos dengan rehabilitasi rawat jalan, maka publik berhak curiga bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka yang lemah.
“Kalau 20 butir ekstasi hanya diproses sebagai pemakaian pribadi, itu preseden buruk. BNN dan penegak hukum wajib membuktikan perkara ini di pengadilan, bukan menutupinya. Kalau tidak, kepercayaan publik terhadap lembaga hukum akan semakin runtuh,” pungkas Zainab.(*)