DPD GMNI Lampung: Tambang Nikel di Raja Ampat Bentuk Nyata Kolonialisme

RITME – Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPD GMNI) Lampung dengan tegas menyatakan penolakan tanpa kompromi terhadap aktivitas pertambangan nikel yang berlangsung di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Pernyataan ini merespons maraknya aktivitas perusahaan tambang seperti PT Kawe Sejahtera Mining di Pulau Kawe, PT Gag Nikel di Pulau Gag, serta PT Mulya Raymond Perkasa di Pulau Manyaifun dan Piaynemo, yang telah mengancam ruang hidup masyarakat adat serta ekosistem kawasan yang masuk dalam UNESCO Global Geopark tersebut.

“Raja Ampat bukan hanya gugusan pulau indah yang dikenal dunia, tapi juga jantung biodiversitas laut global dan tanah adat yang diwariskan secara turun-temurun. Apa yang terjadi hari ini adalah bentuk kolonialisme baru yang dibungkus dengan narasi transisi energi.”tegas Muhammad Dandi, ketua DPD GMNI Lampung.

Dalam pernyataan sikapnya, GMNI Lampung menyuarakan keresahan masyarakat Kampung Manyaifun. Kesaksian warga yang dimuat dalam laporan Tribun Sorong (5/6/2025) menggambarkan penderitaan yang nyata:

“Laut yang dulu jernih kini keruh. Anak-anak kami tak bisa lagi berenang bebas. Ikan makin sulit ditangkap. Kami merasa seperti dijajah di tanah sendiri,” ucap seorang warga Manyaifun.

DPD GMNI Lampung menyebutkan bahwa dampak dari eksploitasi tambang bukan hanya sebatas kerusakan hutan dan laut, namun juga menyentuh dimensi sosial dan budaya masyarakat adat. Aktivitas pertambangan dinilai mengabaikan prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent), yang seharusnya menjadi dasar perlindungan terhadap hak masyarakat adat dalam pembangunan.

Dalam siaran persnya, DPD GMNI Lampung menyatakan tiga sikap utama:

1. Menyebut tambang nikel di Raja Ampat sebagai bentuk kolonialisme baru atas nama transisi energi.

2. Menuding negara dan investor mengorbankan hak hidup masyarakat adat demi kepentingan industri global.

3. Menilai proyek ini sebagai ancaman nyata terhadap status Geopark kelas dunia yang dimiliki Raja Ampat.

Sejalan dengan itu, GMNI Lampung mengajukan tiga tuntutan konkret:

Pencabutan seluruh izin tambang nikel di wilayah Raja Ampat.

Pemulihan lingkungan hidup serta pemenuhan hak masyarakat adat Kampung Manyaifun dan sekitarnya.

Evaluasi ulang status Geopark oleh UNESCO jika pemerintah Indonesia terus mengabaikan prinsip konservasi.

“Kami menyerukan solidaritas dari berbagai elemen: organisasi mahasiswa, aktivis lingkungan, akademisi, tokoh adat, hingga masyarakat sipil. Transisi energi tidak boleh menjadikan rakyat sebagai tumbal,” pungkas Dandi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Post ADS 1