oleh: Budi Bowo L
LEBIH dari lima tahun sudah kepengurusan DPD PDI Perjuangan Lampung berjalan. Tidak lama lagi, kongres daerah akan digelar, memilih pemimpin baru dan pengurus baru. Pertanyaan yang patut diajukan publik sebelum momentum ini adalah: warisan apa yang ditinggalkan kepengurusan saat ini? Apakah rumah besar kaum marhaen di Lampung masih kokoh, atau justru rapuh dan kehilangan roh perjuangannya?
Fakta di lapangan tidak bisa dipungkiri. Pada Pemilu 2019, PDI Perjuangan Lampung masih bisa menorehkan capaian membanggakan: 5 kursi DPR RI dan 19 kursi DPRD Provinsi. Namun pada Pemilu 2024, torehan itu merosot tajam menjadi hanya 3 kursi DPR RI dan 13 kursi DPRD Provinsi. Penurunan ini bukan sekadar angka statistik, tetapi indikator bahwa mesin partai macet, simpati publik melemah, dan kepercayaan wong cilik terkikis.
Di tingkat kabupaten/kota, fenomena yang sama terlihat. Lampung Tengah, daerah strategis yang dulu menjadi basis kuat dengan 11 kursi sekaligus memegang kursi Ketua DPRD, kini hanya menyisakan 5 kursi. Lampung Selatan anjlok dari 10 kursi menjadi 8, Lampung Timur dari 9 menjadi 8, Tulang Bawang dari 10 menjadi 8, bahkan Pesisir Barat dari 5 tinggal 3 kursi. Ada memang daerah yang stabil, seperti Mesuji, Tubaba, Pringsewu, Tanggamus, Lampung Utara, dan Way Kanan, bahkan Lampung Barat yang justru meningkat dari 11 menjadi 14 kursi. Namun itu hanyalah pengecualian yang menegaskan tren umum: secara keseluruhan PDI Perjuangan Lampung sedang meluncur menurun.
Mengapa tren ini terjadi? Jawaban paling jujur bukan hanya karena faktor eksternal, melainkan kegagalan internal. Rumah marhaen kehilangan jiwanya. Prinsip marhaenisme yang seharusnya menjadi napas partai justru tersisih oleh pragmatisme elektoral. Pendidikan politik yang berlandaskan ideologi marhaenisme dikesampingkan, digantikan oleh logika transaksional. Pemilu 2024 membuktikan hal itu dengan gamblang: kader-kader murni yang ditempa puluhan tahun di akar rumput tersisih, sementara orang luar yang datang dengan logistik instan justru diberi ruang. Sekolah Partai, yang semestinya menjadi kawah candradimuka ideologis, lebih sering tampil sebagai formalitas administratif.
Inilah wajah nyata pragmatisme elektoral. Calon legislatif dipilih bukan karena militansi atau dedikasi ideologis, melainkan karena kemampuan finansial. Seleksi politik berubah menjadi kompetisi modal, bukan kompetisi gagasan. Akibatnya, PDI Perjuangan Lampung kehilangan pemimpin organik yang lahir dari rahim perjuangan wong cilik. Apa yang disebut partai rakyat akhirnya menjelma menjadi partai pasar.
Kelemahan lain yang memperparah kondisi ini adalah stagnasi regenerasi. PDI Perjuangan punya banyak organisasi sayap: Banteng Muda Indonesia, Taruna Merah Putih, Repdem, sayap perempuan, dan lain-lain. Namun dalam kenyataan, organisasi ini tidak benar-benar difungsikan sebagai jalur kaderisasi. Mereka lebih sering menjadi tempelan atau alat mobilisasi sesaat. Generasi muda marhaenis yang berpotensi justru tidak diberi ruang. Struktur kepemimpinan masih dikuasai wajah lama, loyalis status quo yang nyaman dengan posisi dan kuasa. Padahal, bagaimana partai bisa menarik simpati milenial dan Gen Z jika anak-anak muda hanya dianggap penggembira?
Kondisi ini semakin ironis ketika kita melihat jurang antara ideologi dan praktik. Di atas panggung, jargon kerakyatan, gotong royong, dan keberpihakan pada wong cilik terus digaungkan. Namun di lapangan, wajah yang muncul justru elitis, bahkan sebagian kader tersangkut kasus korupsi. Retorika keras tentang marhaenisme terdengar nyaring, tetapi di tengah masyarakat, suara rakyat kecil justru semakin sunyi. Wong cilik yang seharusnya menjadi jantung perjuangan malah merasa kehilangan rumah politiknya.
Dominasi sentralistik dari DPP juga memperburuk situasi di daerah. Banyak keputusan penting, termasuk penentuan calon legislatif maupun kepala daerah, diputuskan secara top-down. DPD di daerah, termasuk Lampung, kehilangan otonomi untuk berinovasi. Akibatnya, arah politik lokal sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan riil wong cilik Lampung. Hal ini membuat kader di daerah tidak punya ruang membumikan marhaenisme sesuai konteks lokal.
Kelemahan lain yang tampak adalah gagalnya kaderisasi perempuan dan kelompok minoritas secara substansial. Memang ada capaian kuota 30% perempuan dalam daftar caleg, tetapi itu sering hanya pelengkap administratif. Perempuan yang dicalonkan belum sepenuhnya lahir dari proses kaderisasi ideologis yang matang. Mereka hanya angka di atas kertas, bukan motor penggerak yang militan. Padahal, jika benar partai ini mengusung kerakyatan dan keadilan, mestinya justru kelompok perempuan dan marjinal yang menjadi lokomotif perubahan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa marhaenisme di Lampung tidak lagi dijadikan dasar. Marhaenisme yang seharusnya menjadi paham kerakyatan kini luntur, bahkan mati pelan-pelan. Partai terjebak dalam ideologi pasar yang hanya mengejar perolehan suara, bukan kualitas kader. Jika dibiarkan, PDI Perjuangan Lampung hanya akan menjadi industri politik: besar secara badan, tetapi kehilangan roh perjuangan.
Ingatlah, marhaenisme bukan sekadar slogan. Marhaenisme adalah jiwa perjuangan Bung Karno, yang berpihak pada wong cilik, pada kaum tertindas, pada rakyat yang berjuang di tengah kesulitan hidup. Kaum marhaenis adalah pengikut setia Bung Karno. Mereka percaya bahwa politik bukan hanya soal kursi, melainkan soal memperjuangkan nasib rakyat. Namun, di bawah kepengurusan DPD saat ini, suara-suara itu nyaris tenggelam. Kualitas kepemimpinan diukur bukan dari militansi ideologis, melainkan dari seberapa besar logistik yang bisa disetor.
Hasilnya jelas terlihat: perolehan suara merosot, kursi di legislatif berkurang, dan posisi tawar partai di masyarakat melemah. Tokoh-tokoh partai di DPRD tidak lagi lantang menyuarakan kesulitan hidup kaum marhaen. Wong cilik kehilangan representasi politiknya. Rumah besar kaum marhaen di Lampung tinggal papan nama, tidak lagi menjadi tempat rakyat kecil bersandar.
Jika kondisi ini terus dipelihara, maka ancaman nyata sudah di depan mata. Pemilu 2029 bisa menjadi titik balik tragis di mana PDI Perjuangan Lampung ditinggalkan generasi muda, ditinggalkan wong cilik, dan turun kasta menjadi partai kelas dua. Pertanyaannya kini, Quo Vadis PDI Perjuangan Lampung? Apakah kongres daerah mendatang hanya akan menjadi rutinitas memilih pengurus baru, atau sungguh-sungguh menjadi momentum kebangkitan ideologis?
Harapan itu masih ada, tetapi hanya jika kepengurusan baru berani melakukan koreksi. Jalan itu tidak mudah, karena membutuhkan keberanian untuk kembali pada akar: membumikan marhaenisme, menegakkan kaderisasi berbasis meritokrasi, membuka ruang bagi anak muda dan perempuan, serta mengembalikan ideologi sebagai roh politik, bukan sekadar retorika panggung. Jika langkah-langkah itu tidak diambil, maka sejarah akan mencatat: di bawah kepengurusan DPD periode ini, marhaenisme di Lampung bukan hanya luntur, tetapi benar-benar mati di rumahnya sendiri.(*)