Oleh: Deni Kurniawan
(Aktivis & Pegiat Media)
Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024 di Provinsi Lampung saat ini sedang masuk di fase loby politik tinggi, dimana para kandidat sedang memperjuangkan “Surat Sakti” alias Rekomendasi Partai Politik Pengusung Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta Calon calon Kepala Daerah dan Wakilnya di Kabupaten Kota.
Berkaitan hal tersebut tentu erat kaitannya dengan mahar politik ataupun ongkos politik yang akan menjadi tannggung renteng Kandidat dengan para partai pengusung sebagai pertanda ikatan relasi politik strategis dalam upaya menuju kemenangan kandidat di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada 2024).
Menilik regulasi di Undang Undang nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bahwa mahar politik bagian dari Politik Uang, dalam Pasal 47 angka (1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Dalam angka (2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Unsur pidana terdapat dalam Pasal 187B bahwa Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Segala perangkat pemilu sudah barang tentu menjadi warning bagi para subjek politik dalam melakukan tindakan politik. Hal tersebut pastinya menjadi pemikiran dan pertimbangan bagi Mirza (RMD), Arinal Djunaidi (AD), Umar Ahmad (UA), Herman HN, ataupun Benny Kisworo (Benkis) yang belakangan aktif memajang foto dirinya dengan baliho baliho besar yang berjejer dipinggir jalan seantero Lampung hanya agar dipinang menjadi Wakil Mirza selaku Kandidat Gubernur yang mempunyai kans besar menjadi pemenang Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024 ini.
Entah sudah berapa banyak rupiah dikeluarkan secara mendadak dan cepat tergelontor dari kantong Benny Kisworo. Entah sudah habis berapa banyak rupiah yang dikeluarkan oleh Pendukung RMD, UA, Herman HN hanya untuk memasang banner ke pelosok Lampung. Tapi untuk Arinal Djunaidi nampaknya terkesan ogah ogahan untuk jor joran mengeluarkan Alat Peraga Sosialisasi dirinya sebagai Bakal Calon Gubernur ditugaskan oleh Partai Golkar, yang belakangan pasrah tak berdaya atas dinamika di internal partainya yang bagai menggunting dalam lipatan.
Hal diatas terjadi karena saya pernah mendengar dari pendukung pendukung utama atau “Ring Setengahnya” kandidat, sangat begitu tingginya solidaritas yang dilakukan oleh pendukung UA dalam mengupayakan Alat Peraga Sosialisasi dan sumbangan untuk menyewa Posko posko Pemenangannya.
Begitupun dengan pendukung RMD yang saya dengar sudah menyumbang 300.000 banner hingga terpasang dipelosok Lampung, ataupun sumbangan alat peraga sosialisasi dalam bentuk banner Kakak Herman HN yang kecil kecil tapi merata ke seluruh daerah di Provinsi Lampung.
Bahkan pengamat politik Universitas Muhammmadiyah Lampung, Candrawansah pernah menyampaikan disalah satu media, untuk kompetisi pencalonan Gubernur di Provinsi Lampung minimal membutuhkan dikisaran Rp 300 – 400 Miliar, dimana besaran ini belum pasti menang atau sekedar mengikuti kontestasi politik pemilu saja.
Besarnya biaya politik ini pun menjadi sorotan Akdemisi Universitas Lampubg, Dharmawan Purba, menuutnya kandidat selalu berhadapan dengan tingginya biaya resmi dan tidak resmi yang harus keluar dari kantong kandidat kepala daerah.
Selanjutnya, masalah kemandirian keuangan partai politik selama ini masih sangat minim. Akibatnya parpol akan sangat tergantung terhadap pendanaan. Apalagi yang bersumber dari kompensasi dukungan kepada kandidat yang ingin terusung oleh parpol dalam pilkada.
Terlebih pemilu setelah pemilu legislatif dan presiden yang lalu sangat menguras energi dan menghabiskan biaya yang sangat tinggi. Jadi sangat mungkin, melalui momentum pilkada, elit-elit partai berkepentingan untuk menghimpun dana untuk mengembalikan ongkos politik di pilpres dan pileg 2024 lalu melalui pemberian rekomendasi.
Kemudian, redupnya ideologi partai politik juga turut mempengaruhi praktik mahar politik jelang pilkada. Darmawan menyebut, dalam praktiknya, partai politik kerap menjalin kerjasama politik atau koalisi. Apalagi dalam pencalonan kepala daerah berlandaskan kepentingan yang sama dan mendesak atau koalisi pragmatis.
Sangat jarang partai politik membangun koalisi yang dilandasi oleh kesamaan prinsip, nilai, dan gagasan berupa koalisi ideologis. Praktik ideologi politik pun sangat jarang terjadi dalam proses pencalonan kepala daerah, termasuk untuk pilkada 2024 mendatang.
Menjadi penting agar setiap kandidat mendorong gagasan program politik kemanusiaan saat melakukan sosialisasi dan kampanye politiknya kepada konstituen, sehingga rakyat sebagai pemilih pun tidak NPWP, Nomor Piro Wani Piro, sebuah tradisi yang begitu membuat sakit hati dan akan membekas pada kandidat dan Relawannya ketika upaya poltik maksimal hasil ternyata minimal.
Hal ini harus menjadi kontrol sosial dan kontrol politik dari masyarakat politik (parpol, relawan pendukung) untuk menggulirkan program yang bersifat empowermant (pemberdayaan), bukan yang hanya sekedar gimik dan pencitraan.